LAPORAN WORKSHOP : KURIKULUM BERWAWASAN PLURALISME
3 min readPendahuluan
Pendidikan adalah merupakan suatu proses pemanusiaan manusia, dan kaitan dengan hal itu hakekat kehidupan plurallistik bertumpu pada adanya “social reproduction”, dalam arti apa yang dilaksanakan didunia pendidikan dimasa kini, akan berbuah dimasa mendatang. Bila pendidikan mengajarkan sopan santun kelak akan muncul anak yang sopan dan santun, bila pendidikan mengajarkan kekerasan kelak akan terlahir generasi-generasi anarkis, dan begitu pula bila pendidikan menanamkan jiwa pluralistik dan multikulturallisme, kelak akan lahir manusia saling memahami, menghormati, dan menghargai eksistensi masing-masing dalam kehidupan damai dan demokratis.
Munculnya berbagai masalah dan isu-isu lokal maupun global seperti pelanggaran HAM, fenomena kekerasan, terusiknya perdamaian antar warga maupun etnik dengan latar belakang yang berbeda menyadarkan dan sekaligus mengharuskan dunia pendidikan menemukan sistem dan visi yang relevan Indonesia sebagai suatu bangsa yang mempunyai keragaman budaya yang diikat dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”, dituntut untuk mampu mengelola keragaman atau pluralistik itu secara baik, dan pengelolaan keragaman secara baik akan bisa memunculkan kondisi yang dapat memberi kontribusi kondusif secara optimal dalam usaha memperkokoh dan memperkuat semangat kebangsaan dalam bingkai ”Bhineka Tinggal Ika”. Hal tersebut dimaksudkan sebagai pernyataan dan semangat bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi perasatuan meskipun negara dan bangsa Indonesia terdiri dari keragaman yang begitu kompleks. Dengan demikian meskipun disadari keragaman budaya yang kompleks, dalam kenyataan kehidupan bangsa Indonesia, kesemua itu dapat dirangkum dalam kesatuan yang kokoh dan teguh.
Dalam perkembangan perjalanan sejarah bangsa pernah terjadi bahwa keragaman etnik dan pluralisme budaya dianggap tabu untuk masuk kedalam domain publik. Negara menjadi represip untuk mengakui dan menghargai keragaman budaya, dimana isu SARA menjadi momok dan harus dipendam, dan hal itu menyebabkan menjadi laten dan sensitive. Kehawatiran tersebut akhirnya terbukti dengan munculnya berbagai konflik diberbagai belahan nusantara. Konflik muncul dari minimnya kesadaran tentang pluralitas, keragaman maupun multikulturalisme di tengah komunitas masyarakat. Bias konflik melebar sampai membawa keterpurukan diberbagi sektor pembangunan, minimnya semangat kebangsaan, hilangnya kepekaan moral, dan emosi antar sesama. Seolah –olah semua mencabik identitas dan integritas bangsa, padahal disisi lain intergritas bangsa adalah jaminan mutlak dalam membangun bangsa yang besar. Pembangunan sesuatu bangsa akan bisa berlangsung secara berkesinambungan apabila bangsa tersebut mempunyai semangat kebangsaan yang tinggi dengan tidak mengedepankan perbedaan dan wawasan secara sempit. Semangat kebangsaan itulah yang perlu diusung, bukan semangat yang cenderung bercorak fanatisme sempit. Pilihan yang paling tepat untuk itu adalah memperkuat kesadaran pluralism dan multikulturalisme dengan mengasah kesadaran untuk saling menghormati, mengakui, dan menghargai sebagai sesama warga bangsa
Disinilah fungsi semua jenis lembaga pendidikan (informal, nonformal, dan formal) dapat memberikan peran maksimal bagi satu komunitasnya untuk tumbuhnya kesadaran pluralism dan multikulturalisme secara lebih luas. Mengajarkan tentang pentingnya menghargai dan memahami kelompok-kelompok etnik dan budaya lain serta keragaman kultural dalam mayararak Indonesia dan masyarakat dunia yang melahirkan peserta didik yang melek multikultural. Sekolah/kampus yang juga institusi sosial mempunyai tanggung jawab dalam membentuk anak-anak/mahasiswa melek multikultural dan mengkonsepsi secara sistemmatik terprogram dan kontinyu. pluralisme dan multikulturalisme dapat dijelaskan sebagai suatu pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, sebuah penghormatan dan keingin tahuan tentang budaya etnik lain, bukan dalam artian menyetujui seluruh aspek kebudayaan.
Melihat realitas tersebut Program Peningkatan Kualifikasi S-1 Guru Madrasah dan PAI Di Sekolah Melalui Dual Mode System STAIN Salatiga memandang perlu untuk menyelenggarakan program Workshop Bagi Dosen untuk menyusun kurikulum berwawasan pluralisme.
Dasar Hukum
- Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional;
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi;
- Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1997 tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN);
- Keputusan Menteri Agama RI Nomor 122 Tahun 1988; jo. No. 232/1991, jo. No. 392/1993, dan No. 285/1997;
- Keputusan Menteri Agama Nomor 135 tanggal 8 Oktober Tahun 2008 tentang STATUTA STAIN Salatiga.
Tujuan
- Membekali dosen untuk dapat menyusun kurikulum berwawasan pluralisme.
- Mengantarkan dosen agar melakukan upaya proaktif dalam mengembangkan, mengasah dan mengembangkan karakter guna meningkatkan kapasitas kompetensi mahasiswa agar memahami pluralitas dan multikulturalitas.
Peserta
Peserta Workshop ini adalah Dosen pada program peningkatan kualifikasi S-1 Guru Madrasah Ibtidaiyah dan PAI di sekolah melalui dual mode system. Daftar peserta dapat dilihat dalam lampiran.
Pemateri
Dr. Nafis Junalia, MA (IAIN Walisongo Semarang)
Dr. Yusac B. Setyawan (Dosen UKSW Salatiga)
Materi dan hasil sidang komisi
Terlampir
Pelaksanaan
Workshop ini dilaksanakan pada:
Tanggal : 24-25 Oktober 2012
Pukul : 08.00 – 17.00 WIB
Tempat : Hotel Banaran, Bawen Kab. Se,marang
Penutup
Demikian laporan ini disusun, semoga menjadi pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, kritik dan saran membangun senantiasa diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.
Salatiga, 5 Desember 2012
Ketua Pengelola
Suwardi, M.Pd
NIP. 19670121 199903 1 002